Ini adalah cerita tentang mindset Yahudi.
Waktu di Canton Fair, saya amprokan dengan
Daniel.
Dia masih tetap sehat dan bugar di usia atas 70 tahun. Penampilannya tetap
sederhana. Saya pertama kali mengenalnya waktu di Rotterdam. Tahun 2008 saya
pernah tinggal di Swiss beberapa waktu lama. Kalau weekend saya selalu ke
Rotterdam ditemani supir saya. Entah mengapa saya suka tinggal di Rotterdam.
Ini kota kecil namun udaranya bersih sekali. Karena sebagian besar orang
menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Angkutan umum juga tersedia
berupa kereta listrik yang membelah kota. Masyarakatnya sangat ramah dan tidak
nampak terburu buru seperti di Hong Kong dan China.
Di kota ini saya berkenalan dengan Daniel yang menghabiskan usia pensiunnya sebagai banker di Utrecht. Dia Yahudi tulen. Orangnya ramah. Daniel di masa tuanya tinggal sendirian karena anaknya tinggal di Amerika sebagai banker. Ia hidup senang walau hartanya banyak namun dia tidak beli kapal pesiar atau rumah berkamar puluhan. Apartemennya di Utrecht hanya berukuran 45 meter. Jadi hidupnya sangat efisien.
Ia mungkin termasuk Yahudi yang taat. Tidak makan babi, tidak minum alkohol dan
tidak menyentuh wanita yang bukan muhrimnya walau itu sahabat dekatnya. Bahkan
menurut cerita dia disunat. Mengapa saya tertarik menulis tentang sahabat saya
ini? Karena pemikirannya termasuk Yahudi yang moderat.
Di Hong Kong saya mengajaknya makan malam di Caffe & Bar di kawasan
Wanchai. Ikut bersama saya teman dari negara tetangga. Kami melihat ada wanita bergerombol
mendatangi bar, salah satu teman saya nyeletuk “mereka jauh datang dari
negerinya, hanya untuk jadi PSK ilegal. Kalau bukan karena kemiskinan tidak
mungkin mereka mau datang ke Hong Kong. Itu karena di negerinya Tuhan tidak
hadir, walau mereka beragama.”
Saya tersenyum.
“Tuhan selalu hadir, kapan saja, dimana saja.” Kata Daniel. “Jangan kamu lihat kemiskinan lantas kamu bilang Tuhan tidak hadir. Kamu lebih kafir dari setan. Sejahat jahat setan, tidak pernah mengabaikan Tuhan. Tetap percaya kehadiran Tuhan dimana saja dan kapan saja.” sambungnya dengan tenang.
“Tapi kemiskinan itu karena pemerintah yang zolim. Hanya memberi kesempatan kepada orang kaya saja.” balas teman saya. Saya tersenyum. Karena dia berdialog dengan mitra saya dari negara tetangga, seorang beragama yang taat.
“Tadi Tuhan kamu keluhkan tidak hadir, sekarang pemerintah kamu keluhkan zolim.
Di kepala kamu hanya ada mengeluh. Semua disalahkan.” Kata Daniel tangkas.
“Saya tidak mengeluh, tapi saya bicara soal empati dan keadilan“, mulai sewot teman saya.
“Lantas kamu anggap Tuhan dan Pemerintah tidak punya empati dan keadilan. Hanya
kamu yang peduli?"
“Saya hanya mengingatkan. Itu saja”
“Ya mengingatkan itu cara bersikap yang salah. Karena itu kalau besok ada orang yang bicara keadilan untuk si miskin kamu jadi follower, besok kalau ada orang bicara Tuhan kamu jadi follower. Ketahuilah, hidup bukan retorika tapi perbuatan. Karena dengan retorika, bisnis atas nama keadilan dan Tuhan bisa mendatangkan uang dan kekuasaan. Dan kamu hanya menjadi follower dari profesional yang menjual retorika itu. Itulah yang terjadi. Mereka brengsek daripada kapitalis.“ Kata Daniel dengan santai.
“Tuhan itu Maha Adil dan Maha bijaksana. Tidak ada orang dilahirkan untuk jadi miskin dan dizolimi. Namun karena manusia diberi Tuhan hak Free Will maka setiap manusia punya pilihan menentukan sendiri jalannya. Karenanya surga dan neraka tercipta, Kaya miskin terbentuk. Business dan economy class tersedia. Justru keadilan Tuhan itu ada karena selalu di dunia ini berpasangan. Setiap pilihan berkaitan dengan mental kita sendiri.
Kami, Yahudi mengejar harta namun tidak menumpuk harta non produktif. 90% elite
terkaya di dunia sekarang adalah orang Yahudi. Padahal kami minoritas. Tetapi
istana dan rumah termewah didunia adalah milik orang lain seperti Raja dan orang kaya di negara lain. Emas terbanyak di miliki orang lain tapi penguasaan saham di
bursa adalah Yahudi. Tempat ibadah terbanyak dimiliki orang beragama lain tapi
penguasaan saham di perusahaan multinasional adalah Yahudi. Ini soal pilihan.
Kami tidak hidup dalam simbol material: dalam bentuk harta, istana, kendaraan Rubicon, Lamborghini, Alphard atau apalah dan tidak juga tempat ibadah bertebaran dimana-mana. Tapi dalam bentuk seni berbagi dengan cara smart. Penguasaan saham lewat bursa memberikan kesempatan orang yang punya effort menunaikan fungsi sosial perusahaan. Penguasaan saham di perusahaan secara langsung, satu cara mengaktualkan ide berbagi secara intelektual dan spiritual.
Dengan seni berbagi itu walau kami tidak punya negeri yang dirahmati Tuhan
seperti kalian, tapi kami menjadi mesin berkembangnya peradaban. Kelaparan,
kemiskinan di planet bumi ini terjadi karena pilihan pribadi manusia sendiri.
Mereka dididik dari kecil harus mengutamakan retorika agama dan sorga lebih
utama. Tapi anehnya ketika mereka kalah bersaing mereka salahkan Tuhan dan
Pemerintah. Padahal ketika mereka sibuk mengisolasi dirinya dari luar agar suci
dan bersih, orang lain berjuang mengembangkan iptek dan pasar. Pilihan berbeda,
tentu hasil juga berbeda.
Jadi kalau kalian mencintai Tuhan dan ingin mengaktualkan Tuhan, maka jangan jadikan materi sebagai Tuhan. Karenanya jauhi barang mewah berlebihan, apapun itu dan berbagilah, tetapi lakukan itu dengan smart.
Saya mampu beli rumah mewah atau mobil mewah tapi itu memakan ongkos mahal.
Hasilnya apa? Hanya agar dipandang dan dibanggakan. Useless! Lebih baik
dibelikan apartemen yang kecil dengan ongkos murah. Kalau ingin sekali kali
merasakan tinggal di Istana kami bisa tinggal di hotel berkelas diamond lengkap
dengan layanan limo. Kalau ingin melihat dunia lain, kami bisa liburan dengan
pesawat layanan first class tanpa perlu beli private jet.“ Kata Daniel membuat
teman saya terdiam dan menyimak.
“Lantas untuk apa uang banyak?"
“Ya. jangan di tabung di bank. Itu cara
idiot. Kamu bisa tempatkan di portofolio saham. Tanpa kerja kamu menikmati
hasil kerja orang lain. Tanpa bersusah payah membangun usaha kamu memberikan
kesempatan orang lapangan kerja. Lets money working for you.
Tanpa disadari
kamu juga memberikan bantuan bagi orang miskin dengan pajak yang dibayar oleh
perusahaan yang sahamnya kamu punya. Dengan deviden yang kamu terima kamu bisa
berbagi lewat pajak.
Berpuluh puluh tahun saya memburu uang akhirnya saya tidak butuh uang. Berpuluh
tahun saya mengejar harta demi kehormatan akhirnya saya tidak butuh kehormatan.
Mengapa? Time is money tapi faktanya justru kita tidak punya waktu disaat kita
punya uang. Kita kumpulkan uang karena kawatir miskin. Tapi faktanya kita
selalu kawatir harta berkurang.
Jadi, intinya uang akan memenjarakan kebebasan
kita kalau kita maknai uang adalah segala-galanya. Tetapi kalau kita maknai
uang hanyalah alat maka kita bisa menikmati hidup tanpa diperbudak uang. Tanpa khawatir
menebarkan kesempatan kepada orang lain untuk berkembang, tanpa membuat kita
bangkrut tentunya.
Hidup itu secure bukan karena financial resource tetapi karena financial freedom. “ Kata Daniel. Saya melirik teman saya yang nampak tersenyum.
Posted by Gino’s