Mari kita sekali-kali berhenti ngomongin orang lain dan
sejenak mulai merenung untuk diri kita sendiri menghadapi suatu kepastian yg
akan terjadi, entah kapan, di masa yang akan datang nanti.
BERLATIH MATI
Saya ingin share tulisan seorang dokter yg bertugas di RS Swasta - Yogyakarta...
Seringnya mendapat giliran tugas menunggui mereka yang sedang menghadapi sakratul maut alias detik-detik menjelang lepasnya jiwa dari tubuh fisiknya, membuat saya banyak merenungkan apa arti dari semua ini.
Sebuah kesempatan belajar yang langka dan tidak semua orang
bisa mengalaminya.
Apa pentingnya buat saya?
Sangat penting karena dari
peristiwa itulah saya terus disadarkan bagaimana mengisi hari-hari yang saya
jalani ini, agar bisa berakhir dengan penuh makna, mencapai tujuan yang
diagendakan sejak sebelum saya diturunkan ke dunia dan belajar menghargai waktu
yang tersisa dengan hidup yang lebih berkualitas.
Cara orang meninggal dunia itu
berbeda-beda.
Kemiripannya hanya pada tanda-tanda yang menyertai sebelum maut menjemput.
Kemiripannya hanya pada tanda-tanda yang menyertai sebelum maut menjemput.
Wajah yang mendadak berubah,
seperti bukan yang kita kenali selama ini. Pucat, bahkan putih seperti tembok.
Terutama sorot mata mereka, yang sebentar kosong, sebentar gelisah, sebentar
marah.
Perilaku dan tingkah laku juga berubah.
Ada yang keinginannya harus dituruti betapa pun anehnya. Atau membuat orang lain kesal, dan yang bersangkutan sendiri marah atau uring-uringan. Mereka juga jadi labil secara emosi. Sedih, sering menangis tanpa tertahan lagi, takut ditinggal sendirian. Semakin mendekati waktunya, semakin gelisah menanyakan hari, tanggal atau jam. Juga tak betah lagi mengenakan segala macam alat bantu medis yang dimaksudkan untuk membuat mereka lebih lama bertahan hidup.
Yang membedakan adalah seberapa
pasrah atau seberapa besar keyakinan mereka terhadap Tuhan, semasa hidupnya.
Kebanyakan mereka yang simpel dan lurus-lurus saja hidupnya, tak banyak kuatir
memikirkan ini itu hingga detil, lebih cepat "berangkat"nya. Tapi
jika masih ada banyak ganjalan di hati dan pikirannya, seringkali mengalami
kesusahan pada saat jiwanya akan lepas dari tubuhnya.
Hal ini membuat saya berpikir,
bahwa untuk mati dengan mudah tanpa melalui banyak siksaan adalah dengan
melatihnya semasa kita masih hidup di dunia.
Berlatih mati?
Ya, Anda tidak salah baca, dan
saya tidak sedang becanda.
Yang pertama perlu dilatih
adalah soal keyakinan kita. Yakin dan menyadari dengan sesadar-sadarnya
bahwa segala sesuatu itu baik adanya, berujung kebaikan dan selalu ada kebaikan
walau nampaknya susah sekalipun.
Ini adalah fondasi yang sangat
penting ketika nyawa kita tengah berada di ujung tanduk nanti.
Kebaikan yang selalu kita yakini dan pikirkan akan membuat kita menyambut kematian dengan Keprasahan dan Kerelaan...
Kebaikan yang selalu kita yakini dan pikirkan akan membuat kita menyambut kematian dengan Keprasahan dan Kerelaan...
Putusnya nyawa dan keluarnya
jiwa dari tubuh fisik kita akan lancar sama seperti ketika buang hajat besar,
semakin kita rileks, akan semakin mudah, tapi semakin kita tegang, semakin
susah lepas.
Latihan kedua adalah berlatih melepas
Melepas apa saja yang selama
ini kita anggap sebagai hak kita.
Sadarilah bahwa kita tidak
memiliki apa-apa dan tidak berhak atas apapun, termasuk memikirkan nasib
orang-orang yang kita kasihi yang akan kita tinggalkan.
Itu bukan urusan dan tanggung
jawab kita.
Mereka adalah milik Tuhan dan masing-masing memiliki urusannya sendiri-sendiri dengan Pencipta alam semesta.
Mereka adalah milik Tuhan dan masing-masing memiliki urusannya sendiri-sendiri dengan Pencipta alam semesta.
Lepaskan juga segala urusan
harta, kekayaan dan apapun yang masih mengikat dan menguasai kita, sejak
sekarang ini, selagi kita masih hidup.
Artinya, ini adalah latihan
mental agar kita tidak terus menerus kuatir dan memikirkan sesuatu yang
nantinya akan kita tinggalkan.
Melepaskan juga berarti melepaskan
dendam, kemarahan, kepahitan, luka batin yang masih ada.
Bersihkan mulai dari sekarang
ini, hingga tak ada sisa sama sekali.
Berilah maaf kepada mereka yang
pernah menyakiti hati, mengkhianati, mengakali kita, seikhlas-ikhlasnya.
Latihan juga tidak berhenti di aspek spiritual dan mental saja, namun juga di aspek fisik.
Memang tubuh fisik kita nantinya akan kita tinggalkan.
Tapi lebih enak mana meninggal dengan sehat atau dengan sakit?
Latihan juga tidak berhenti di aspek spiritual dan mental saja, namun juga di aspek fisik.
Memang tubuh fisik kita nantinya akan kita tinggalkan.
Tapi lebih enak mana meninggal dengan sehat atau dengan sakit?
Berlatihlah menghormati dan menghargai tubuh kita mulai dari
sekarang
Mulai belajar mendengarkan
suaranya, apa yang sebenarnya ia butuhkan, bukan apa yang kita (ego atau nafsu)
butuhkan.
Berikanlah apa yang tubuh
inginkan sejak sekarang, agar ia tak membangkang atau menusuk di belakang pada
saat kita tak berdaya lagi.
Lakukanlah dengan ikhlas karena mengasihi tubuh sendiri sama dengan melayani orang yang sedang sekarat.
Lakukanlah dengan ikhlas karena mengasihi tubuh sendiri sama dengan melayani orang yang sedang sekarat.
Perlu hati-hati, cermat, penuh
hormat.
Daripada nantinya tubuh kita habis dimakan obat, lebih baik memeliharanya dengan baik semasa kita masih bisa.
Daripada nantinya tubuh kita habis dimakan obat, lebih baik memeliharanya dengan baik semasa kita masih bisa.
Berikan makanan yang sehat,
olahraga yang cukup, sinar matahari pagi, dan air bersih yang sesuai kebutuhan.
Banyak lagi yang bisa kita
latihkan untuk menyambut kematian dengan gembira dan bukan dengan air mata.
Sudah waktunya kita mengubah
persepsi tentang kematian bukan lagi sebagai peristiwa dukacita tapi kemenangan
dalam perjalanan Hidup. Dan marilah Bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan kita atas apa yang telah kita rasakan di dunia ini.
"Selamat merenungkan dan mulai berlatih.*
Thanks for sharing Elita F
Tags:
Story